Budaya Komentar
Akhir-akhir ini ber-Komentar menjadi suatu kegiatan
yang sangat diminati khalayak ramai. Semua platform social media punya kolom
komentar-nya masing-masing. “Jangan lupa like, comment, and subscribe” tidak
asing dengan kaliamat tersebut bukan? Ya, kalimat tersebut seolah sebuah
kalimat yang wajib dikatakan oleh para Youtuber, biasanya dikatakan diawal dan
diakhir video dan ada kata Komentar disana.
Suatu hari saya membuat story di Instagram dengan foto
buku The Things You Can See Only When You
Slow Down, “my current read” tulis saya. “Kamu lagi baca buku itu?” teman saya yang orangnya baik sekali,
ber-Komentar, “Iya,” jawab saya. “Itu tuh yang nulis nya Buddhis kan yah?” Komentar-nya, aku iya-in lagi (di
blurb-nya juga ada bambank). “Emang gapapa gitu baca buku kek gitu?” Komentar-nya lagi, “gapapa meureun, kenapa gitu?” balas ku. Tidak ada respon lagi.
Lagi, sekarang di status WA, screen playlist lagu-lagu
Paramore. Hallelujah adalah salah satunya tapi kebetulan sedang tidak di play. Temen sekelasku komen “kamu dengerin Hallelujah?” aku “iya” sudah tidak ada balasan. Saya fikir
selesai, taunya dibahas di kelas coy, dan saya jadi tersangka utama.
Kamu tau engga arti Hallelujah itu apa? Dipake dimana?
Untuk apa? Sama siapa? Terus sekarang masih dengerin? Suka ikut nyanyi juga?
Hafal semua liriknya? Semua pertanyaan yang bikin saya tampak bodoh di ajukan
dan senyum sinis mode digunakan. Berasa kafir lagi gua.
Tapi yah, Mereka selesai setelah puas melihat saya
tampak goblok dengan semua pertanyaan yang mereka ajaukan. Hari berlalu dan
kami masih tetap berteman sampai sekarang. Yah mereka cuman butuh ruang untuk
berkomentar.
Belum lama ini Agnes Mo membuat pernyataan yang sangat
disayangkan untuk tidak berkomentar. Semua kalangan berremai-ramai membuat
komentar. Ada yang berkomentar positif ada pula yang sebaliknya.
@negativisme memposting sebuah foto Agnes Mo yang
tampak mengenakan batik dengan caption “Agnes Mo, meski mengaku tak berdarah
Indonesia, tetap kok dalam beberapa kesempatan dia mempromosikan kebudayaan
kita, semisal batik. Yang hujat kalian udah ngapain emang?” tulisnya di
Instagram.
Berbeda dengan @negativisme, politisi Partai Gerindra
Fadli Zon menjuluki Agnes Mo sebagai Malin Kundang dan menyebutnya durhaka. “Enggak
ada kebanggaan sedikit pun sama orang Indonesia, mendisasosiasi diri, saya
melihat itu agak tersinggung sebenernya,” ujarnya. (Kompas)
Oh, teman-teman sekelasku pun ikut berkomentar. Dan
pada saat yang sama, saya pake Batik ke kampus yang dimana gak pernah pake
Batik sebelunya. Jadi selain berkomentar tentang Agnes Mo mereka pun
berkomentar, tentang out-fit Batik saya.
Ah, berkomentar, kayanya ga enak banget gitu kalo ga
komentar. Tapi dengan lu komen gak menandakan lu bener yah! Inget!
Siapa yang lebih Indonesia? Kamu yang liat temen
sekelas ga biasa pakek batik, terus dinyinyirin mu kondangan kemana, atau Agnes
Mo yang ngakau ga punya darah Indonesia tapi bangga pakek batik untuk acara
Internasional?
Siapa yang lebih kafir? Kamu yang gak dengerin Hallelujah,
sehingga merasa benar tapi ga pernah Shalat atau Dia yang dengerin lagu
tersebut hanya untuk dengar saja tapi Shalat?
Semuanya relatif. Apa yang kamu fikir salah disisni
bisa jadi sahih di tempat lain. Racun bisa jadi obat, obat bisa jadi racun. Matahari
tidak muncul 12 jam di setiap tempat! Semua tergantung dimana kakimu berpijak.
Taukan kutiapn dari Novel apa? Iya Novel ke-2 dari series Supernova-nya Dee
Lestari, Akar.
Dan lagi ya masih orang yang sama, Dia punya lengkap
heksalogi Supernova, tapi tak bisa menikmatinya karena di buku ke-2 dan ke-4
gak sesuai keyakinannya katanya. Ini fiksi bambank, woy fiksi. Lahh, Komentar lagi.
Gak bilang langsung tapi, jadi iya kalo dianya baca ini. Salah ga sih? Ah, sudahlah!